“Leila dari Azerbaijan” (Cerita Pendek)
Sudah sejak dua jam lalu Mariage d’Amour milik Paul de Senneville menjadi musik latar bagi Leila yang duduk di balik meja konter Bamba Hostel. Sudah sejak dua jam lalu Leila mengotori tangannya dengan tinta dan membolak-balik tumpukan kertas di hadapannya. Sudah sejak dua jam lalu telepon genggam Leila terus berdering. Sudah sejak dua jam lalu atmosfer mendung yang dibawa Leila membaur jadi satu dengan ruangan itu. Sudah dua jam lalu semuanya mendadak berubah menjadi kelabu monoton.
Saat malam tiba, Leila memutuskan untuk duduk di teras hostel ditemani secangkir teh hangat sambil mengamati surat yang dibuatnya sejak tadi sore. Ia mencoba menimang-nimang, apakah surat itu sudah terdengar elok atau belum. Untuk berjaga-jaga, diambilnya secarik kertas dan sebuah pena dari meja konter; siapa tahu ia akan membutuhkannya untuk menulis surat itu lagi. Kerutan di dahinya muncul ketika ia membaca surat itu untuk kesekian kalinya.
Adam tercinta,
Salah. Kalimat pembuka ini salah. Kenapa ia tak menyadari hal itu sejak tadi? Ia ingat Adam pernah berkata ada satu kalimat favorit yang dulu selalu ia gunakan untuk menulis surat yang ia berikan ke pacarnya. Apa itu? Leila berusaha mengingat-ingat.
Seno Gumira Ajidarma! Salah satu tulisan pria itu. Gadis itu memutuskan untuk menulis ulang suratnya sebab ia ingin Adam membacanya dengan senyum terkembang di wajah.
Adam tercinta, masih tercinta, dan akan selalu tercinta.
Sejenak, Leila tersenyum saat membayangkan bagaimana senyuman pria itu.
Saat ini aku sedang duduk di teras hostel, tempat pertama kita bersua dua bulan yang lalu. Di sini aku duduk sambil minum teh (sebab udara mulai dingin) sembari menulis surat untukmu. Sekarang sudah malam, kira-kira pukul sebelas. Tapi para pelancong dari Amerika yang tinggal di lantai dua masih sibuk berpesta di Enerji dan pria tampan dari Aleksandria yang baru datang kemarin masih sibuk dengan tur malamnya. Bagaimana denganmu, Adam? Apa yang sedang membuatmu sibuk akhir-akhir ini? Bekerja sepanjang hari kemudian menghabiskan malam yang penuh alkohol di klub? Kuharap kau akan selalu baik-baik saja walaupun aku sama sekali tak baik.
Leila merasa dirinya sudah terlalu bertele-tele. Ia putuskan untuk kembali melihat surat yang telah ditulisnya tadi dan menyalin kata demi kata yang ada di sana.
Andaikan aku datang ke kotamu, apakah kau akan mengunjungiku dan kita akan berbicara?
Aku merasa lelah sekali, Adam. Aku harus berhenti menuruti perasaan yang menjadikanku budak yang sengsara dan menderita. Mungkin memang ini waktu yang tepat untuk membiarkan perasaan mati begitu saja, seperti menyiksa tanaman dengan tak memberinya air. Bukankah kita cukup bahagia selama dua minggu di Baku? Aku tahu bahwa semua yang terjadi di sini hanya sekadar pelarian sejenak dari kehidupan yang menjemukan dan penuh tipu muslihat bagimu. Tapi bagiku tak demikian. Aku menikmati detik-detik berharga dari dua minggu yang kau habiskan di hostel ini. Begitu banyak memori yang tersimpan dalam waktu singkat, seperti bakteri yang membelah tiap menit dan tiada habisnya.
Suatu momen yang sungguh sakral bagiku ketika melihatmu datang dengan air muka kelelahan dan sepasang mata menjerit minta tolong. Belum pernah aku merasakan getaran yang sebegitu dahsyat dalam hidupku. Untuk pertama kalinya, aku paham mengapa orang selalu ribut-ribut membicarakan cinta pada pandangan pertama.
Apakah aku menyesal bertemu denganmu? Tak pernah. Yang kusesali hanyalah perasaan yang tumbuh dan berubah menjadi tuan atas tubuhku sendiri.
Sapaan yang diucapkan pria tampan dari Aleksandria menghentikannya sejenak. Pria itu sudah menyelesaikan tur malamnya dan baru saja kembali ke hostel, jadi Leila memberinya sedikit senyuman dan berbasa-basi sejenak dengan bahasa Inggris mereka yang tergagap-gagap. Sepuluh menit berlalu, akhirnya pria itu melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju lantai tiga; memberi ruang pada Leila dan suratnya.
Andaikan waktu berulang pun, aku akan tetap menemanimu selama masa-masa pemulihanmu (aku lebih suka menyebutnya begitu daripada masa pelarian). Aku senang bisa mengenalmu dan menghabiskan waktu tiap akhir pekan di balkon hostel sambil membicarakan segala sesuatu tiada habisnya. Berbincang-bincang denganmu selalu terasa menyenangkan, Adam, selalu menghanyutkan. Mungkin akan lebih baik jika saat ini kita berdua bisa bertemu. Saling memandang dan membicarakan ini itu.
Adam tersayang,
Aku tentunya tahu bahwa kau akan baik-baik saja bahkan jika kita berdua berakhir menyedihkan. Tapi beginilah keadaanku. Sudah lebih dari sebulan yang lalu aku mengantarkanmu ke Bandara Internasional Heydar Aliyev, tapi aku tak pernah sehari pun merasa baik-baik saja. Mungkin kau masih ingat dengan novel bersampul oranye yang kau berikan padaku? The Years of the Voiceless, gubahan Okky Madasari. Di dalamnya terdapat kalimat ‘there’s karma in every action’. Satu dari beberapa kalimat yang berhasil kuingat karena sepertinya kalimat itulah yang menjadi penjelaskan atas kesengsaraanku saat ini.
Akhir-akhir ini aku semakin menyadari bahwa aku menjadi amat gila karena semua harapan yang ada dalam diriku. Aku melupakan semuanya dan menjadi benar-benar tak rasional saat bersamamu. Salahku memang. Kau tak menjanjikan apapun padaku dan aku terlalu banyak memupuk harapan bahwa kita akan menghabiskan hari tua bersama.
Mendadak, Leila teringat kalimat lain di buku The Years of the Voiceless: ‘Stealing what belongs to another person is a sin’.
Seandainya saja ia menyadari betapa berbahayanya cinta yang tumbuh di tempat yang yang salah. Leila pikir risiko terbesar dari semua itu hanyalah omongan dan sindiran dari keluarga atau orang-orang di sekitarnya, toh sejak dulu ia tak pernah peduli dengan cibiran. Dua minggu yang ia lalui bersama Adam membuat cinta yang ada di hatinya semakin membara dan nafsu untuk memiliki pria itu semakin berkobar. Ia pikir Adam akan merasakan hal yang sama dan keduanya dapat berakhir bahagia di kota kecil bernama Baku, di Azerbaijan. Tapi ternyata pikirannya salah. Adam tak pernah sekalipun memandangnya dengan tatapan penuh cinta dan cibiran itu bukanlah akibat yang terburuk dari cintanya. Tepat ketika Adam memutuskan untuk kembali ke kehidupan lamanya, nirwana yang sudah ia bangun dan persiapkan untuk dirinya dan Adam langsung runtuh. Kata ‘kembali’ adalah mimpi buruk yang tak pernah Leila bayangkan sebelumnya. Pria itu bangun di suatu pagi yang cerah kemudian memutuskan untuk meninggalkan semua yang terjadi di Azerbaijan tetap di Azerbaijan. Semua termasuk dirinya.
Siapa suruh Leila jatuh cinta pada pria beristri? [chtrn]